I.
LATAR BELAKANG
Indonesia
merupakan salah satu negara yang memiliki sumber daya manusia (SDM) yang cukup
banyak. Sudah tidak dapat dipungkiri bahwa populasi masyarakat Indonesia yang
banyak merupakan potensi penyediaan tenaga kerja atau buruh bagi pasar domestik
atau pasar luar negeri. Namun, melimpahnya penawaran tenaga kerja dan buruh di
Indonesia ternyata kurang diimbangi dengan pemberian upah yang memuaskan bagi
tenaga kerja.
Buruh
dengan upah yang rendah dijadikan sebagai faktor promosi supaya investor asing masuk ke Indonesia dan
dapat memanfaatkan buruh yang upahnya murah. Buruh dengan upah rendah itulah
yang menjadi ujung tombak persaingan Indonesia dalam penetrasi produk
manufakturnya di pasar tradisional. Namun dengan seiringnya waktu, buruh mulai
menyadari dengan ketidakadilan yang mereka dapat selama bekerja.
Sekitar
tahun 1996, Menteri Tenaga Kerja Indonesia sempat menaikkan Upah Minimum
Regional (UMR) hingga mencapai 100% sebagai dampak dari tuntutan perbaikan
nasib buruh melalui aksi mogok kerja ataupun unjuk rasa. Sampai saat ini, hal
itu masih berlanjut di setiap ada perubahan upah minimum oleh pemerintah yang
selalu dibarengi oleh aksi protes para buruh.
Pemberian
upah yang minim atau tidak sesuai dengan kinerja buruh akan membuat buruh
menjadi malas bekerja sehingga menimbulkan aksi protes kepada perusahaan bahkan
negara. Hal ini ditandai dengan aksi protes yang selalu dilakukan oleh buruh di
setiap Hari Buruh. Mereka selalu menuntut upah yang layak untuk kesejahteraan
mereka namun selalu saja pihak perusahaan tidak mengindahkannya.
II. TUJUAN
Tujuan dari pemberian upah tenaga
kerja atau buruh adalah untuk memberikan motivasi kepada mereka agar bekerja
lebih giat. Selain itu, dengan pemberian upah yang layak maka kehidupan buruh
juga akan sejahtera dan perusahaan pun akan menjadi lebih maju. Kemajuan perusahaan
ditandai dengan tingginya kinerja tenaga kerja atau buruh pada perusahaan
tersebut. Oleh karena itu, pemberian upah yang layak kepada buruh merupakan
faktor penting untuk kemauan suatu perusahaan.
III. ISI
A.
PENGERTIAN
UPAH
Di dalam UUD
1945 pasal 27 ayat 2 telah ditentukan landasan hukum sebagai berikut bahwa :
“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan”. Dengan demikian, seharusnya upah yang diterima oleh buruh adalah
upah yang wajar.
Menurut
Undang-Undang Kecelakaan Nomor 33 Tahun 1947 pengertian upah, yaitu :
1.
Tiap
pembayaran berupa uang yang diterima oleh buruh sebagai ganti pekerjaan
2.
Perumahan,
makan, bahan makanan, dan pakaian dengan cuma-cuma yang nilainya ditaksir menurut harga umum di
tempat itu.
Jadi dari beberapa pengertian upah di
atas dapat disimpulkan bahwa upah dapat diartikan sebagai pembayaran atau imbalan
yang wujudnya dapat bermacam - macam dan diberikan oleh seseorang atau lembaga
atas usaha, kerja, prestasi, atau pelayanan yang dilakukan oleh buruh.
Upah yang diberikan kepada seseorang
seharusnya sebanding dengan apa yang ia kerjakan dan harus cukup memadai untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya sehari – hari. Dalam hal ini perbedaan tingkat
kebutuhan dan kemampuan seseorang mempengaruhi sistem perupahan perusahaan.
Pelaksanaan administrasi perupahan sangatlah rumit karena upah yang telah
ditetapkan oleh seorang pemimpin perusahaan dengan bijaksana mungkin akan
diterima oleh sebagian buruh dengan senang hati tetapi mungkin pula ada
sebagian buruh yang menerima upanya dengan terpaksa karena upah yang mereka
terima masih tendah. Oleh karena itu, pemberian upah kepada buruh harus dapat
menimbulkan motivasi kerja.
B.
PERANAN
UPAH DALAM SUATU PERUSAHAAN
Upah dalam arti yuridis adalah balas
jasa yang diberikan oleh pengusaha kepada buruhnya atas penyerahan jasanya
dalam jangka waktu tertentu. Dalam hal pengupahan banyak pihak yang terlibat
baik langsung maupun tidak langsung. Berikut penjelasan pihak-pihak yang
terlibat dalam pengupahan.
Yang terlibat secara
langsung, yaitu :
·
Pihak
pengusaha atau badan usaha yang memperkerjakan buruh. Dalam hal ini, bagi pihak
pengusaha atau badan usah aupah merupakan unsure pokok dalam perhitungan ongkos
produksi dan merupakan harga pokok yang menentukan kehidupan perusahaan.
·
Pihak
buruh yang menerima upah. Upah itu selalu menjadi faktor pendorong bagi
semangat bekerja. Upah juga menggambarkan besar kecilnya kontribusi buruh pada
perusahaannya.
Sedangkan
pihak yang terlibat secara tidak langsung, yaitu :
·
Organisasi
buruh
·
Pemerintah
C.
PERBEDAAN
UPAH DAN PENDAPATAN
Secara umum upah adalah pendapatan,
akan tetapi pendapatan itu tidak selalu harus upah. Pendapatan itu merupakan
jenis penghasilan lain, misalnya keuntungan dari hasil penjualan barang akan
menjadi pendapatan dalam administrasi perupahan.
Pendapatan yang dihasilkan para buruh
atas pekerjaannya yang tercantum dalam perjanjian kerja dapat dikatakan
memperdalam hubungan perburuhan, maka sudah selayaknya bila seorang buruh
memperoleh sejumlah pendapatan yang cukup dan merasakan kepuasan berkenaan
adanya kesesuaian dengan pendapatan orang lain yang mengerjakan pekerjaan yang
sejenis di perusahannya.
Pada masa sekarang di bidang usaha
perindustrian telah mengaitkan hal-hal pengupahan dengan produktivitas kerja
serta kemampuan pekerja untuk menghasilkan suatu produk. Dengan kata lain,
semakin banyak pekerja yang berproduksi dan berprestasi maka semakin banyak
upah yang akan diterimanya.
D.
JENIS
– JENIS UPAH
1.
Upah
Nominal
Yang
dimaksud upah nominal adalah sejumlah uang yang dibayarkan kepada para buruh
yang berhak secara tunai sebagai imbalan atas jasa atau pelayanannya sesuai
dengan perjanjian kerja. Upah nominal juga sering disebut upah uang (money wadges).
2.
Upah
nyata (Real Wadges)
Yang
dimaksud upah nyata ialah upah nyata yang harus diterima oleh seseorang yang
berhak. Upah nyata ditentukan oleh daya beli upah yang tergantung dari besar
atau kecilnya jumlah uang yang diterima serta besar atau kecilnya biaya hidup
yang diperlukan.
3.
Upah
Hidup
Dalam
hal ini upah yang diterima oleh buruh relative cukp untuk membiayai kehidupan
dan kebutuhan pokoknya saja. Perusahaan yang maju dan kuat akan mampu
memberikan upah hidup kepada burunnya.
4.
Upah
Minimum
Dalam
hal ini upah minimum sebaiknya dapat mencukupi kebutuhan hidup buruh beserta
keluarganya walaupun dalam arti yang sederhana, cost of living perlu diperhatikan dalam penentuan upah.
Tujuan
utama penentuan upah minimum, yaitu :
·
Menonjolkan
peranan buruh dalam suatu sistem kerja.
·
Melindungi
buruh dari upah yang rendah
·
Mengusahakan
terjaminnya ketenangan dalam pekerjaan.
·
Mengusahakan
adanya dorongan peningkatan dalam standar hidupnya yang normal.
5.
Upah
Wajar (Fair Wages)
Upah
wajar dimaksudkan sebagai upah yang relative dinilai wajar oleh pengusaha dan
para buruh sebagai uang imbalan atas jasa buruh kepada perusahaan. Faktor-faktor
yang mempengaruhi upah wajar ini, yaitu :
·
Kondisi
ekonomi Negara
·
Nilai
upah rata-rata di daerah dimana perusahaan beroperasi
·
Posisi
perusahaan dilihat dari struktur ekonominya
·
Peraturan
perpajakan
·
Standar
hidup para buruh
E.
KARAKTERISTIK
UPAH YANG BAIK
1.
Upah
harus menjamin upah minimum
2.
Upah
harus disetujui dan diterima oleh buruh
3.
Upah
mencerminkan apresiasi kemampuan dan kemajuan para buruh
4.
Upah
harus terperinci sehingga dimengerti oleh buruh
5.
Upah
tidak akan melibatkan secara terlalu besar atas biaya tak langsung (overhead)
6.
Upah
harus fleksibel dalam menghadai perubahan yang tidak terduga
7.
Upah
hendaknya memotivasi peningkatan kualitas produk.
8.
Upah
yang bersifat insentif seperti bonus haris diterima bersama dengan upah
dasarnya
9.
Sistem
pengupahan harus adil dan berperikemanusiaan yang baik oleh pihak buruh
10.
Manajemen
yang baik berarti tidak terlalu mengikuti up
and down labour supply atau
pasang surut penawaran tenaga kerja dalam perubahan upah.
IV.
KESIMPULAN
Dari
uraian diatas dapat kami simpulkan bawa :
a) Upah
buruh disetiap daerah berbeda-beda, sesuai dengan peraturan pemerintah
setempat.
b) Setiap
buruh atau tenaga kerja telah dilindungi oleh undang-undang dan peraturan yang
berlaku, serta pengusaha atau pemberi kerja tidak semena-mena melakukan hal
yang tidak diinginkan, seperti :
1. Memberikan
jam lembur yang berlebihan, tanpa memikirkan kondisi fisik dari pegawai atau
buruh tersebut.
2. Memotong
upah buruh tanpa alasan yang jelas.
c) perusahaan atau pihak yang membutuhkan jasa
memberikan penghargaan atas jasa yang telah dilakukan oleh pekerja, seperti
memberikan upah yang lebih bagi pekerja yang mempunyai etos kerja yang tinggi.
d) Jam kerja yang diberikan harus sesuai dengan
ketentuan atau perjanjian yang tertera, apabila telah melewati jam kerja yang
ditentukan maka jam kerja tersebut sudah termasuk lembur.
ARTIKEL MENGENAI PENYIMPANGAN UPAH
TERHADAP BURUH
UPAH BURUH
DAN DAYA SAING
Siklus
tahunan isu perburuhan Indonesia terus berulang. Seperti tahun-tahun
sebelumnya, setiap bulan Oktober-November, suhu politik perburuhan Indonesia
menghangat akibat perdebatan soal upah, tepatnya soal kenaikan Upah Minimum
Kabupaten/ Kota (UMK). Di Karawang, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia
mengancam akan melakukan aksi mogok kerja secara massal jika upah minimum
kabupaten pada 2012 tidak dinaikkan menjadi 100 persen Kebutuhan Hidup Layak
yang angkanya mencapai Rp1.387.. Di Bekasi, sekitar 1.000 orang buruh
dari Gerakan Serikat Buruh Indonesia (Gesburi) berunjukrasa menuntut kenaikan
Upah Minimum Kabupaten (UMK) di Kantor Bupati Bekasi, Jawa Barat, Selasa.
Mereka menuntut Pemerintah Kabupaten Bekasi untuk menaikkan UMK sebesar
100 persen dari UMK tahun 2011 Di Kabupaten Bandung, sekitar 25 ribu
buruh dari Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) berunjuk rasa di depan
komplek Pemkab Bandung, Rabu. Mereka mendesak kenaikan Upah Minimum Kabupaten
(UMK) 2012 sebesar 10 persen UMK 2011 Rp1.123.. Sementara itu di Kota
Bandung, Kadisnaker Kota Bandung Hibarni Andan Dewi mengimbau perusahaan
untuk patuh jika UMK 2012 yang diusulkan naik 7%, nantinya disahkan. .
Dengan kenaikan itu maka UMK Kota Bandung akan naik dari Rp 1.271.625 pada
2012 dari yang sebelumnya Rp 1.188.435.
Unjuk rasa
yang terus berulang setiap tahun, untuk isu yang sama, jelas menunjukkan ada
persoalan serius dalam isu upah ini. Tiga pihak yang terkait di dalam isu ini
yaitu pemerintah, pengusaha dan buruh, agaknya melihat persoalan ini dengan
cara pandang yang berbeda sehingga sulit menemukan titik temu. Buruh melihat
dengan kacamata pemenuhan Kebutuhan Hidup Layak, pengusaha melihat dengan
kacamata Biaya Buruh, sedangkan Pemerintah melihat dengan kacamata daya
saing, untuk menarik investasi.
Tahun
lalu, saya menulis di Harian ini mengenai UMK dari sisi pandang buruh. Bahwa
UMK samasekali belum mampu memenuhi Kebutuhan Hidup Layak bagi buruh lajang,
apalagi yang berkeluarga. Dalam tulisan kali ini, saya akan melihat UMK dari
sisi pemerintah, yaitu upah sebagai salah satu instrument untuk menarik
investor dan meningkatkan daya saing Indonesia diantara Negara-negara lain di
dunia.
Adalah
World Economic Forum (WEF), sebuah lembaga yang secara rutin mempublikasikan The
Global Competitiveness Index (Indeks Daya Saing Global).
Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, Indonesia juga diteliti dan dianalisis
daya saingnya diantara Negara-negara lainnya. Hasilnya, tahun 2011 ini posisi
Indonesia berada di peringkat 46, turun 2 tingkat dari tahun sebelumnya (The
Global Competitiveness Report 2011-2012).
Ada banyak
faktor yang menyebabkan daya saing Indonesia justru turun. Selain itu,
laporan yang sama juga memperlihatkan factor-faktor bisnis apa saja yang
dianggap paling menghambat masuknya investor ke Indonesia. Urutan dan share
dari masing-masing factor dalam mengahmbat masuknya investasi diperlihatkan
oleh table di bawah ini.
Faktor-Faktor
Penghambat Daya Saing
Sumber:
The Global Competitiveness Index, 2011-2012
Dari tabel
di atas tampak bahwa 3 faktor utama penghambat daya saing adalah Korupsi,
Birokrasi Pemerintah yang tidak efisien dan Infrastruktur yang tidak memadai.
Sementara itu Peraturan Perburuhan hanya menempati urutan ke 12. Dari data
tersebut di atas, sudah sepantasnya, pemerintah memikirkan ulang strategi
untuk menarik investor. Untuk menarik investor agar mau menanamkan modalnya
di Indonesia, yang penting bukanlah menekan upah buruh, melainkan serius
memberantas korupsi, mengefisienkan birokrasi pemerintah dan memperbaiki
infrastruktur.
Sementara
itu, sudah waktunya pula untuk merevisi Permenaker 17/ 2005 tentang Komponen
dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak dengan
menyesuaikannya dengan kondisi terkini. Bila buruh sudah mendapatkan upah
layak, maka daya belinya akan meningkat, produktifitasnyapun meningkat. Maka
bukan hanya buruh yang diuntungkan, tapi juga pengusaha dan pemerintah,
tentunya.
|
UMK BELUM
100% KEBUTUHAN HIDUP LAYAK
|
Bulan
Oktober bagi buruh sektor industri adalah bulan "harap-harap
cemas". Pasalnya pada 15 Oktober 2009, bupati/wali kota se-Jawa Barat
akan merekomendasikan UMK kepada Gubernur Jawa Barat untuk disahkan pada 20
Oktober 2009. Proses penentuan dan nilai upah untuk 2010 ini menjadi penting
bagi buruh karena pada 2007, Pemprov Jawa Barat menjanjikan bahwa pada 2010,
buruh bisa menikmati upah minimum sebesar seratus persen kebutuhan hidup
layak (KHL).
Konsep
Upah Layak
Konsep
upah layak memang belum menjadi istilah resmi yang diterima oleh pemerintah.
Istilah yang selama ini dikenal adalah upah minimum yang dihitung berdasarkan
kebutuhan hidup layak. Untuk itu, UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan
mengamanatkan bahwa upah minimum yang selama ini menjadi acuan pengupahan
mestinya dapat memenuhi kebutuhan hidup layak sebagaimana diatur dalam
Permenaker Nomor Per-17/ Men/ VIII/ 2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan
Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak. Faktanya, pengalaman buruh dan
hasil penelitian yang dilakukan oleh SPN (Serikat Pekerja Nasional) dan
Federasi Garteks KSBSI bersama AKATIGA di sembilan kota/kabupaten empat
provinsi pada 2008–2009 menunjukkan bahwa upah minimum belum mampu memenuhi
kebutuhan hidup layak, bahkan pada buruh lajang. Upah minimum baru memenuhi
62,4 persen pengeluaran riil buruh yang rata-rata Rp 1,467 juta per bulan.
Untuk
menutupi kekurangan itu, buruh harus bekerja lebih lama (mengandalkan
lembur), bekerja sampingan, menggabungkan penghasilan anggota rumah tangga
lainnya, meniadakan konsumsi untuk barang-barang tertentu, dan berutang.
Mengapa bisa terjadi demikian? Penelitian ini menemukan bahwa ada beberapa
persoalan mendasar terkait dengan penerapan dan konsep upah minimum.
Pertama, upah minimum yang seharusnya hanya berlaku untuk
buruh lajang dengan masa kerja 0-1 tahun, ternyata diberlakukan juga untuk
buruh dengan masa kerja hingga belasan tahun. Perbedaan upah antara buruh
"baru" dengan buruh yang masa kerjanya sudah cukup Lama, sangat
kecil, hanya beberapa ribu rupiah.
Kedua, penelitian ini menemukan fakta bahwa 52 persen
buruh sudah menikah dan memiliki tanggungan, 59 persen buruh lajang memiliki
tanggungan selain dirinya sendiri. Dengan demikian, memberikan upah minimum
yang didasarkan pada kebutuhan hidup buruh lajang berarti memaksa buruh untuk
"berbagi kemiskinan". Pada saat upah minimum belum mencapai 100 persen
KHL, buruh masih harus membaginya dengan anggota rumah tangga lainnya.
Ketiga, 46 komponen KHL berdasarkan peraturan tersebut
tidak relevan lagi untuk kondisi saat ini. Penelitian ini menemukan bahwa
setidaknya ada 163 komponen kebutuhan hidup yang harus dikonsumsi oleh buruh
agar dapat hidup secara layak. Contoh komponen kebutuhan hidup yang pasti
dikonsumsi (dibeli/dianggarkan dalam pengeluaran) oleh buruh tetapi tidak
termasuk dalam KHL versi Permenaker 17/2005 antara lain setrika, sumbangan
kemasyarakatan, dan biaya pendidikan anak untuk buruh yang sudah berkeluarga.
Buruh juga membutuhkan rumah yang bersih dan sehat, sementara dalam komponen
KHL, kebutuhannya dihitung hanya untuk kontrak kamar. Untuk perumahan, buruh
seharusnya bisa memiliki rumah sekalipun tipe sederhana.
Secara
umum, dalam penelitian ini, kebutuhan hidup layak mengacu pada kebutuhan
hidup yang harus dipenuhi agar seorang pekerja dan keluarganya dapat hidup
layak dan mampu mereproduksi kembali tenaganya sehingga menjadi lebih produktif.
Tanggung
Jawab
Masalah upah adalah masalah dalam hubungan kerja, yang terkait dengan masalah produksi dan reproduksi. Dalam hal ini, peran pemerintah relatif masih terbatas. Akan tetapi bagaimana dengan kebutuhan hidup layak? Apakah pemenuhan kebutuhan hidup layak melulu tanggung jawab pengusaha? Upah memang seharusnya bisa memenuhi kebutuhan hidup layak. Penelitian ini memperlihatkan bahwa kebutuhan hidup layak buruh lajang rata-rata Rp 2,45 juta dan buruh yang sudah berkeluarga Rp 4,067 juta per bulan. Mungkinkah pengusaha mampu memberikan upah sebesar KHL tersebut?. Penelitian yang dilakukan Akatiga pada 2007 memperlihatkan bahwa pengusaha masih dibebani dengan berbagai bentuk pungutan yang mengakibatkan inefisiensi (2007:31). Bila hal ini bisa diatasi maka buruh boleh berharap bahwa upah sebesar KHL bisa dicapai. Jika dalam hal prasyarat tersebut belum bisa dipenuhi maka pemerintah harus mencari solusi untuk memenuhi KHL tersebut sebagai wujud tanggung jawabnya terhadap warga negara.
Untuk
menjawab permasalahan ini, pemerintah bisa mulai memperbaiki program jaminan
sosial yang terkait langsung dengan kebutuhan perumahan, pendidikan,
kesehatan, serta berbagai program peningkatan kesejahteraan sebagai bentuk
tanggung jawab pemerintah terhadap warga negara.
|
KEBIJAKAN
KETENAGAKERJAAN YANG MEMISKINKAN
Persoalan
kemiskinan di Negara ini semakin merisaukan. Masalah kemiskinan yang terus
meluas di kalangan yang memang sudah miskin: buruh, petani, nelayan, pelaku
sector informal, semakin kasat mata. Upah dan pendapatan kelompok
marjinal ini semakin rendah dan semakin tak mampu mengejar lonjakan kenaikan
harga-harga barang kebutuhan pokok.
Salah satu
kelompok yang sedang menghadapi pemiskinan adalah buruh di sector industri
manufaktur. Apabila ditelusuri lebih ke hulu, kemiskinan buruh di
sector industri sesungguhnya merupakan hasil dari kebijakan pemerintah
untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif sebagai upaya untuk
mengundang sebanyak mungkin investor (asing). Ada dua strategi dasar yang dilakukan
pemerintah untuk mendukung kebijakan tersebut yakni pertama menjalankan
kembali politik upah murah dan kedua menerapkan prinsip-prinsip
liberal, fleksibel dan terdesentralisasi dalam urusan ketenagakerjaan. Kedua
strategi tersebut secara sistematis telah memiskinkan buruh.
Politik
upah murah secara resmi dan menyolok digunakan oleh BKPM untuk mengundang
investasi. Dalam promosinya yang bertajuk Invest in Remarkable Indonesia,
upah buruh yang murah dijadikan daya tarik. Mengutip Economic Intelligence
Unit, brosur BKPM mencantumkan upah buruh Indonesia yang hanya USD 0.6 per
jam dibandingkan dengan India (1.03), Filipina (1.04), Thailand (1.63), Cina
(2.11) dan Malaysia (2.88). Menyertai angka-angka tersebut brosur promosi itu
mencantumkan ‘labor cost is relatively low, even as compared to investment
magnets China and India’.
Upaya BKPM
menarik investasi asing dengan menonjolkan murahnya upah buruh di Indonesia
mengingatkan kembali pada kebijakan pemerintah di masa Orde Baru dengan
politik upah murahnya dan sekaligus menunjukkan kemunduran arah kebijakan.
Upaya ini juga memperlihatkan kesenjangan pemahaman pemerintah terhadap
perubahan tuntutan perusahaan dalam kompetisi global. Dalam kompetisi global,
investor menuntut ketepatan waktu dan mutu kerja yang tinggi serta
pelayanan birokrasi yang efisien. Para pengusaha tekstil dan garmen Indonesia
yang telah melihat perkembangan industri di Vietnam dan Cina menyatakan bahwa
keterampilan dan mutu hasil kerja buruh Indonesia jauh lebih tinggi
dibandingkan buruh di kedua negara tersebut dan menyatakan bahwa sesungguhnya
apabila biaya birokrasi dan berbagai pungutan dapat dihapuskan, upah minimum
yang ditingkatkan dua kali lipat sekalipun dapat diberikan.
Politik
upah murah telah terbukti menciptakan sulitnya kehidupan buruh karena nilai
rata-rata upah mínimum sebesar Rp.892,160 hanya mampu membiayai 62,4 persen
rata-rata pengeluaran riil buruh (AKATIGA-SPN-GarTeks-FES-TWARO 2009).
Prinsip-prinsip
liberal, fleksibel dan terdesentralisasi dalam kebijakan ketenagakerjaan
menunjukkan kepatuhan pemerintah terhadap tekanan kapitalisme global
agar Indonesia menerapkan syarat-syarat perbaikan iklim investasi
dengan cara : meliberalisasi peraturan perburuhan, melonggarkan pasar kerja
dan mendesentralisasi urusan ketenagakerjaan. Ketiga prinsip tersebut
dalam implementasinya secara pasti telah menurunkan kesejahteraan buruh
dan menghilangnya kepastian kerja melalui sistem hubungan kerja kontrak,
outsourcing dan magang. Sistem kerja ini juga membatasi masa kerja menjadi
sangat pendek melalui kontrak selama enam bulan hingga paling lama dua tahun
dan mempersempit peluang kerja di sektor formal bagi angkatan kerja usia
produktif karena munculnya kecenderungan baru pada preferensi perusahaan
untuk hanya mempekerjakan buruh yang berusia 18-24 tahun untuk alasan
produktivitas. Sebuah studi di sektor metal menemukan bahwa sistem
hubungan kerja yang fleksibel telah menurunkan upah buruh kontrak dan
outsourcing hingga 26 persen terhadap upah buruh tetap.
Sistem
yang sama telah mampu menurunkan biaya tenaga kerja hingga 20 persen karena
dengan mempekerjakan buruh dengan sistem kontrak perusahaan hanya perlu
membayar upah pokok dan tidak perlu memberikan kompensasi ketika hubungan
kerja berakhir. Inilah sebabnya dalam lima tahun terakhir fenomena
hubungan kerja kontrak dan outsourcing menjadi sangat massif dan diterapkan
di hampir semua sektor industri. Berbagai laporan dan hasil studi menunjukkan
di berbagai perusahaan di sektor garmen dan logam serta elektronik saja misalnya
pengurangan penggunaan buruh tetap dan menggantikannya dengan buruh kontrak
terus terjadi.
Implikasi
kebijakan ini jelas memiskinkan buruh karena dengan sistem kerja kontrak,
upah buruh tidak akan pernah mengalami kenaikan dan berbagai tunjangan yang
biasa diterima oleh buruh tetap dengan sendirinya tidak diberikan.
Meskipun
sistem kerja yang fleksibel berdampak negatif terhadap buruh tetapi
rupanya masih dianggap belum cukup memberikan keleluasaan bagi modal
sehingga peraturan ketenagakerjaan yang ada masih akan dikaji ulang dan
dibuat kondisi yang lebih longar lagi dalam mempekerjakan buruh. Sekali lagi,
sistem kerja yang lebih fleksibel diupayakan agar semakin banyak investasi
asing yang datang.
Kecenderungan
pada pemerintah yang lebih mempersoalkan masih kurang fleksibelnya
pasar kerja dan menekankan aspek tenaga kerja sebagai penyebab tak kunjung
kondusifnya iklim investasi, menunjukkan ketidakmampuan untuk mencari jalan
keluar terhadap pokok penyebab biaya tinggi dalam berinvestasi di Indonesia
yang bersumber dari buruknya infrastruktur dan birokrasi serta tingginya
pungutan. Situasinya persis seperti kalimat para pengusaha di Bandung yang
mengatakan bahwa ’lebih mudah menghadapi protes buruh daripada
menghadapi birokrasi dan aparat pemerintah karena tuntutan aparat
pemerintah di jaman otonomi daerah jika tidak dipenuhi justru akan
menimbulkan lebih banyak masalah terhadap kelancaran usaha’.
Implikasi
dan arah kebijakan
Politik
upah murah dan ketiga prinsip yang menjadi warna utama kebijakan ketenagakerjaan
di atas, apabila terus dipertahankan maka dalam waktu yang tidak
terlalu panjang justru akan menjadi bumerang bagi upaya pemerintah untuk
memperbaiki iklim investasi dan menghapus kemiskinan. Upah murah dan
ketidakpastian pekerjaan akan membawa implikasi terhadap penurunan kinerja
dan produktivitas buruh. Kondisi kerja yang buruk dan penurunan kesejahteraan
hanya akan menghasilkan aksi –aksi protes buruh yang jelas akan membuat
situasi investasi tidak nyaman dan hasil akhirnya justru akan membuat
para investor berpikir ulang untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Belajar
dari berbagai negara yang berhasil meraih investasi dengan mengedepankan mutu
angkatan kerja dan kesejahteraan buruh melalui penyediaan jaminan sosial,
maka strategi mengundang investasi dengan menjual buruh murah seperti
yang dilakukan pemerintah Indonesia saat iini justru terasa sangat primitif
dan memprihatinkan dan oleh karenanya harus ditinggalkan. Fleksibilitas pasar
kerja memang merupakan gejala global akan tetapi di berbagai negara kebijakan
tersebut selalu disertai dengan penyediaan jaminan sosial sebagai
’fall-back cushion’ atau jaring pengaman bagi buruh.
Di tengah
iklim persaingan global, pendulum kebijakan ketenagakerjaan yang semakin
menjauh dari posisi melindungi buruh sudah saatnya didekatkan kembali
dan pemerintah adalah pihak yang seharusnya paling mampu untuk
melakukannya. Menjadi negara yang ramah terhadap bisnis harus dipandang
sebagai cara untuk mendatangkan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat
sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi dan bukan untuk memiskinkan rakyat.
Menjadi negara yang ramah terhadap investor dan meningkatkan kehidupan
sosial ekonomi warganya merupakan sebuah peta jalan pembangunan yang
sudah ditempuh juga oleh Malaysia, Thailand, Taiwan, Korea Selatan dan
Cina. Peta jalan tersebut dapat dilengkapi dengan
kejelasan visi pembangunan bangsa dan arah untuk menempatkan negara di posisi
terhormat di dalam konstelasi global. Persaingan global yang semakin ketat dan
sengit hanya dapat dimenangkan oleh negara dengan pemerintahan yang kuat dan
konsisten menegakkan peraturan yang bersemangat keadilan.
Buruh & PRT 'Kuasai' Ruang Rapat Baleg DPR
Elvan Dany Sutrisno - detikNews
Rabu, 14/12/2011 14:36 WIB
Jakarta - Ada pemandangan yang berbeda di ruang rapat Badan Legislasi
(Baleg) DPR. Puluhan aktivis buruh dan pembantu rumah tangga (PRT) menguasai
ruang itu menuntut agar UU PRT masuk dalam program legislasi nasional
(Prolegnas) DPR tahun 2012.Rapat Baleg DPR kali ini mengagendakan pembahasan
Prolegnas DPR tahun 2012. Rapat akan digelar siang ini. Sebelum rapat dimulai, para buruh
dan PRT tiba-tiba menggeruduk masuk dan duduk-duduk di kursi anggota DPR.
Mereka tergabung dalam SPSI, KAJS, Jala PRT dan beberapa induk organisasi
buruh dan PRT lainnya. "Kami
inginkan UU PRT masuk dalam Prolegnas dan menolak revisi UU tentang
Ketenagakerjaan," kata jubir rombongan, Lita, di ruang Baleg DPR, Senayan,
Jakarta, Rabu (14/12/2011). Para buruh dan PRT masih menunggu pimpinan Baleg
DPR yang berjanji akan menemui rombongan. Tim keamanan dalam DPR mencoba
mengusir mereka. Namun usaha sulit karena jumlah buruh dan PRT lebih besar. Rencananya,
rapat Prolegnas akan tetap digelar. Sedangkan perwakilan buruh dan PRT akan
diterima di ruang pimpinan Baleg.
|
Komentar
Posting Komentar